Kamis, Juni 18, 2009

Teori Ketatanegaraan dalam Islam

Berbicara maslah teori atau konsep pemerintahan dalam Islam maka akan sengat erat kaitanya dengan Negara Islam, yang polemiknya hingga sekarang masih terus diperdebatkan mengenai benar tidaknya keberadaan atau adakah Negara Islam sesunggguhnya. Banyak para pemikir yang berbeda pendapat mengenai hal ini.
Abdurrahman Wahid dalam tulisanya mengatakan bahwa Islam tidaklah memiliki konsep yang jells mengenai bagaimana Negara di buat dan dipertahankan. Islam tidak mengenal pandangan yang jelas dan pasti mengenai pergantian kepemimpinan. Rosululloh digantikan oleh abu bakar tiga hari setelah beliau wafat. Selama masa itu kaum muslimin menunggu dan mencari solusi atas kepemimpinan pasca Rosulullah, hingga abu bakar terpilih melalui bai’at/ prasetia. Sebelum Abu Bakar wafat penunjukan Umar sebagai penggantinya. Demikian pula ketika berpindah ke Utsman dan ke Ali ra. System dan Prosesnya tidak sama, bahkan ketika tampuk kepemimpinan jatuh tangan bani umaiyah yang kemudian menjadi system kerajaan.1

Namun disisi lain Islam juga memberikan konsep kepada manusia mengenai persoalan yang terkait dengan urusan duniawi, termasuk konsep politik dan pemerintahan. Salah satu bukti tercatat dalam sejarah, ketika Nabi hijrah ke kota Madinah beliau mampu menyatukan masyarakat yang majemuk, terdiri dari berbagai agama dan peradaban yang berbeda dalam satu tatanan masyarakat madani. Dan perjanjian yang belliau deklarasikan dengan orang-orang Yahudi adalah satu cermin terbentuknya negara yang berciri demokrasi. Perjanjian itu mengandung kebijaksanaan politik Nabi untuk menciptakan kestabilan bernegara.2
Namun diluar itu, dalam makalah ini akan coba kami uraikan mengenai bagaimana teori pemerintahan dalam Islam. Meskipun ada atau tidakkah Negara dengan pemerintahan dalam hukum Islam yang ada pada nash (al-Qu’an atau hadis),Secara sederhana akan kami sajikan sebagai berikut:
1.Teori politik dan pemerintahan dalam Islam klasik dan abad pertengahan. Yang meliputi: Al-Farabi, Al- Mawardi, Al- Ghazal, Ibn Taimiyah, Ibn Khaldun
2.Teori dan konsep pemerintahan kontemporer.
3.Bentuk dan pola Pemikiran Politik dan pemerintahan dalam Islam

Dalam tulisan ini tentu akan sangat banyak sekali kekurangan, karena kalu kita berbicara masalah teori pemerintahan dalam Islam maka pembahasanya akan sangat luas dan perlu tela’ah yang lebih mendalam. Namun semoga dalam diskusi nanti kita bias mencoba untuk ssaling melengkapi dengan kritik dan saran yang membangun.
1.Teori Pemerintahan Islam Pada Era Klasik Dan Abad Pertengahan
Ada dua ciri umum yang terdapat pada teori politik dari pemikir tersebut. Pertama, teori mereka tampak jelas adanya pengaruh alam pikiran Yunani, utamanya pada pandangan Plato, walaupun kualitas pengaruh itu tidak sama antara pemikir yang satu dengan pemikir yang lain. Kedua, kecuali Farabi, mereka mendasarkan teorinya pada penerimaan system kekuasaan yang ada pada zaman mereka.
Berikut ini diuraikan teori dari para pemikir-pemikir tersebut yang cukup representatife untuk mewakili pemikiran politik di dunia Islam pada zaman klasik dan pertengahan:3
1. Al-Farabi.
Teori politik Al-farabi tidak didasarkan pada system pemerintahan yang ada, melainkan pada objek yang sesuai pada idealismenya. Al-Farabi berpendapat bahwa manusia adalah mahluk social yang mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat lantaran tidak mungkin memenuhi segala kebutuhannya sendiri tanpa melibatkan bantuan dan kerjasama dari orang lain.
Kepemimpinan dapat tumbuh karena adanya keahlian dan pembawaan yang bisa mengarahkan orang untuk menegakkan nilai-nilai etis dan tindakan-tindakan yang mampu memelihara apa yang ada secara mantap.
Kedudukan kepala Negara sama dengan kedudukan jantung bagi badan yang merupakan sumber koordianasi. Sejalan dengan itu, kriteria seorang kepala Negara harus memenuhi kualitas luhur, yaitu: lengkap anggota badannya, baik inteligensinya, mutu intelektualitasnya, pandai mengemukakan pendapatnya, dan mudah dimengerti, pecinta pendidikan dan gemar mengajar, pecinta kejujuran, berbudi luhur, tidak diutamakan keduniaan, bersifat adil, optimisme dan besar hati, kuat pendiriannya, penuh keberanian, antusiasme, dan tidak berjiwa kerdil. Farabi juga menambahkan pentinganya suatu kepala Negara untuk membersihkan jiwanya dari berbagai aktivitas hewani, seperti korupsi, manipulasi, tirani, pemerintahan fasik, pemerintahan apatis dan pemerintahan yang sesat.
2. Al- Mawardi
Salah satu karyannya tentang ketatanegaraan yang cukup hangat sambutannya di dunia isalm adalah al-ahkam al suthaniah.
Teori kontrak sosial Mawardi juga berpendapat bahwa manusia itu merupakan mahluk social, yang saling bekerjasama dan membantu satu sama lain, tetapi ia memasukkan agama dalam teorinya. Dari sinilah akhirnya manusia sepakat untuk mendirikan Negara. Dengan demikian, adanya Negara adalah melalui kontrak social atau perjanjian atas dasar sukarela. Karena itu Mawardi berpendapat, bahwa kepala Negara merupakan lingkup garapan khalifah kenabian di dalam memelihara agama dan mengarur dunia dan mengesahkannya. Al-Mâwardî menegaskan bahwa kepemimpinan negara merupakan instrumen untuk meneruskan misi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia. Agama dan dunia merupakan dua jenis aktivitas yang berbeda, namun berhubungan secara simbiotik. Keduanya merupakan dua dimensi dari misi kenabian.
Dalam System pemerintahan, Berbeda dengan Farabi yang teorinya secara idealistik, sedangakan mawardi mendasarkan pada teori politikya secara realistik. Dalam pemerintahan Mawardi tetap mempertahankan Kepala Negara harus berbangasa Arab dari suku Quraisy. Dan perlu diingat bahwa Mawardi menekankan etnis arab adalah dilatarbelakangi oleh situasi politik saat itu. Upaya Mawardi mempertahankan etnis Quraisy, secara kontekstual interpretative dapat dikatakan, bahwa hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraisynya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaannya. Maka mengutamakan etnis Quraisy memang bukan ajaran dasar agama Islam yang dibawa Rasulullah.
Suksesi Kepala Negara Menurut Mawardi yang berwenang memilih Kepala Negara adalah lembaga legislatif (abl al-ikhtiar), mereka dipersyaratkan: memiliki keadilan, memiliki pengetahuan dan mampu mengetahui siapa yang berhak menjadi Kepala Negara, dan memiliki wawasan yang luas yang memungkinkan mereka memilih siapa yang paling tepat menjadi kepala Negara.
3. Al- Ghazali
Teori kepemimpinan Negara Menurut Ghazali, dunia adalah ladang untuk mengumpulkan perbekalan untuk kehidupan akhirat, dunia sebagai wahana untuk mencari ridha Tuhan. Berlandaskan pemikiran semacam itu, Ghazali menyatakan bahwa kewajiban mengangkat seorang kepala Negara bukanlah berdasarkan rasio, tetapi berdasarkan keharusan agama.
Agama adalah fundamen sementara penguasa adalah pelindungnya. Maka konsekuensi logis dari teori ini, Ghazali tidak memisahkan antara agama dan Negara. Ghazali justru menunjukkan sebaliknya antara agama dengan Negara bagaikan saudara kembar. Dengan demikian agama bukan hanya mengatur kehidupa individual, melainkan juga kehidupan kolektif.
Syarat-syarat kepala Negara sama dengan syarat-syarat untuk menjadi hakim, ditambah dengan atribut keturunan Quraisy. Syarat itu adalah: merdeka, laki-laki, mujtahid, berwawasan luas, adil, dewasa, bukan wanita, anak-anak, orang fasik, orang jahil dan

1 komentar:

ANNAS mengatakan...

Hari ini kaum Muslimin berada dalam situasi di mana aturan-aturan kafir sedang diterapkan. Maka realitas tanah-tanah Muslim saat ini adalah sebagaimana Rasulullah Saw. di Makkah sebelum Negara Islam didirikan di Madinah. Oleh karena itu, dalam rangka bekerja untuk pendirian Negara Islam, kita perlu mengikuti contoh yang terbangun di dalam Sirah. Dalam memeriksa periode Mekkah, hingga pendirian Negara Islam di Madinah, kita melihat bahwa RasulAllah Saw. melalui beberapa tahap spesifik dan jelas dan mengerjakan beberapa aksi spesifik dalam tahap-tahap itu

Postingan Populer